MELAKA NAN MERAH DAN BERSEJARAH
20:51:00
Sabtu kedua telah tiba. Tak seperti Sabtu
pertama yang dihabiskan bersama ke Batu Caves dan Genting Highlands, kali ini
peserta diklat di University of Malaya sepakat jalan sendiri-sendiri. Saya dan
rekan sekamar, Pak Zuhri (SMAN 2 Boyolali, Jawa Tengah), memilih melancong ke
Melaka. Banyak kawan travel blogger yang merekomendasikan kota ini jika
ingin melihat sisi lain Malaysia. Mereka bilang, kota ini merupakan salah satu
destinasi yang sayang jika dilewatkan.
Dengan taksi daring, saya dan Pak Zuhri
meluncur dari hotel di Berjaya Times Squre ke Terminal Bersepadu Selatan, Kuala
Lumpur. Pusat bus antarkota ini hampir menyerupai bandara karena luas, bagus,
adem, dan teratur. Kami membeli tiket bus di loket dengan menyerahkan paspor. Harganya
RM 12. Murah kan? Jadwal keberangkatan sekitar pukul 10.00 dan kami punya waktu
30 menit untuk santai-santai di ruang tunggu.
Saya menemukan sesuatu yang berbeda dengan di
Indonesia. Terminal bus ini dilengkapi dengan gate sehingga calon
penumpang bisa menunggu sesuai nomor gate yang tertera di tiket. Ada
seorang petugas di dekat gate yang telah memegang list nama
penumpang. Begitu waktu keberangkatan tiba, para calon penumpang mengantre
dengan tertib untuk menunjukkan tiket kepada petugas lalu masuk ke bus.
Sungai Melaka nan bersih |
Wah, saya baru tahu bahwa bus yang kami
tumpangi ternyata bus tingkat. Driver bus ada di lantai bawah. Ada
beberapa kursi untuk penumpang di lantai bawah, tapi terpisah penyekat tertutup
dengan ruang driver. Syukurlah, kami berada di lantai atas dan saat
membeli tiket kami memilih kursi paling depan. Kami pun leluasa menikmati
pemandangan sepanjang perjalanan. Ini pengalaman pertama saya naik bus tingkat.
Sepanjang perjalanan, yang terhampar di kanan
kiri bus adalah kebun kelapa sawit. Meski menikmatinya, lama-lama saya tak
kuasa menahan kantuk. Saya terbangun ketika bus telah memasuki Kota Melaka. Rupanya
sudah dua jam berlalu. Bus pun sampai di terminal Melaka Central. Setelah cukup
bertanya kepada petugas terminal, kami meluncur ke kawasan kota tua dengan
taksi daring. Kami beruntung mendapatkan driver baik hati yang
memberikan banyak info tentang Melaka.
Tugu Melaka |
Gereja Merah Melaka |
Dibangun pada 1753 |
Naik tangga ini, bebas dari kerumunan pengunjung |
Ada taman di depan gereja |
Jadi, Melaka disebut juga Malaka atau Malacca.
Semua sama benarnya. Kota kecil di pesisir barat Semenanjung Malaysia ini telah
dinobatkan sebagai Bandar Warisan Dunia (World Heritage) oleh
UNESCO pada 2008. Sejarah panjang kota ini berawal dari masa kesultanan, lalu
dijajah Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang, hingga merdeka pada 1957.
Walapun dahulu merupakan negeri pertama yang mendirikan kesultanan Melayu,
Melaka kini tak memiliki sultan. Negeri ini diketuai oleh seorang Tuan Yang
Terutama Negeri. Berbagai etnis menjadi penduduk Melaka, yakni Melayu, China,
India, Portugis, Chitty, dan Eurasia.
Lalu, ke mana sajakah saya berkeliling? Sesuai
saran kawan yang juga sama dengan pendapat driver, lokasi pertama yang
saya tuju adalah kawasan kota tua. Kami turun di depan Gereja Merah yang punya
nama asli Christ Church Melaka. Karena cuaca sangat terik, saya dan Pak Zuhri
memutuskan untuk menyegarkan tenggorokan dulu dengan es cendol Melaka yang
kabarnya sangat populer. Kedainya sederhana, tepat di seberang Gereja Merah.
Wah, ternyata ramai juga pembelinya. Untung masih ada kursi kosong, tepat di
tepi Sungai Melaka.
Tangga menuju Museum Sejarah dan Etnografi |
Keramik-keramik peninggalan sejarah |
Banyak papan informasi sejarah |
Salah satu peninggalan zaman penjajahan Belanda |
Monumen empat negara yang pernah menjajah Melaka |
Ada beberapa varian es cendol Melaka, dari yang
biasa dengan harga RM 6 sampai yang spesial seharga RM 12. Saya pilih yang
spesial karena ada duriannya. Meski pembeli ramai, pesanan dengan segera
diantar ke meja. Dan, rasanya beneran juara. Duriannya segar legit dipadu
cendol dan kuah santan yang dingin. Duriannya banyak juga lho. Dinikmati saat
cuaca panas begini, es cendol durian terasa istimewa.
Setelah badan segar, kami menyeberang jalan
untuk mendatangi kawasan Gereja Merah. Di depan gedung tua yang
dibangun pada 1753 ini terdapat taman lengkap dengan sejumlah spot foto.
Suasananya mirip banget sama Gereja Blenduk di kawasan kota tua Semarang.
Puluhan pengunjung asyik berfoto atau naik becak bunga-bunga yang berjajar di
tepian taman. Di sini juga terdapat sejumlah kios oleh-oleh seperti t-shirt,
aksesoris, dan suvenir khas Melaka.
Rumah adat Melaka |
Kereta Tuan Yang Terutama Melaka |
Ranjang peninggalan sultan |
Foto dari masa ke masa |
Pakaian adat pengantin Melaka |
Pantun Melaka |
Diorama petani |
Saya tertarik untuk naik tangga merah yang
menempel di gedung samping gereja. Dari tangga ini, tampaklah bahwa bukan hanya
gereja ini yang berwarna merah. Hampir semua bangunan di sini dicat dengan
warna yang sama, termasuk tugu di depan gereja dan dinding museum di sampingnya.
Benar-benar dengan warna merah yang sama. Btw, berfoto di tangga ini bisa
terbebas dari kerumunan pengunjung.
Pintu masuk Museum Pendidikan |
Falsafah pendidikan Malaysia |
Diorama pembelajaran di sekolah dasar zaman dahulu |
Peralatan sekolah dari masa ke masa |
Diorama pendidikan agama |
Diorama penyebaran agama Islam |
Kota Melaka tampak dari teras lantai dua Museum Pendidikan |
Puas mengambil gambar di Gereja Merah, mencoba
melihat ada apa lagi yang menarik di sini. Menurut peta explore Melaka
yang kami ambil di Melaka Center, bangunan-bangunan bersejarah di sini ternyata
berdekatan. Pengunjung cukup berjalan kaki untuk menjelajahinya. Yang paling
dekat dengan Gereja Merah adalah museum. Untuk masuk museum, pengunjung harus
melewati tangga yang menyerupai terowongan dengan dinding (lagi-lagi) bercat
merah.
Ternyata, pintu masuk museum ini
terintegrasi untuk lima museum sekaligus, yaitu museum sejarah dan etnografi, literatur,
pendidikan, sastra, dan pemerintahan, serta satu galeri, yakni Galeri Cheng Ho.
Harga tiket paket untuk enam objek tersebut RM 10 untuk pengunjung asing dewasa
dan RM 4 untuk anak-anak. Sedangkan untuk pengunjung lokal RM 5 (dewasa) dan RM
2 (anak-anak). Museum pertama yang kami masuki adalah museum sejarah yang
menyimpan banyak barang peninggalan masa kesultanan serta penjajahan Portugis,
Belanda, Inggris, dan Jepang.
Teras samping Museum Sejarah dan Etnografi |
Patung Laksamana Cheng Ho |
Semua dinding didominasi warna merah |
Balkon putih memberi sentuhan menarik di antara bangunan merah |
Ada beberapa pintu lorong dengan tangga berubin tegel |
Mirip maket ya? |
Spot ini cocok buat foto-foto |
Siang terik bukan halangan |
Menelusuri ruang-ruang di museum ini seolah
memasuki mesin waktu. Beragam diorama, benda bersejarah, papan informasi, film
dokumenter, dan foto menjadi saksi betapa Melaka telah melewati masa panjang
untuk jadi kota yang kita kenal sekarang. Sampai di bagian paling belakang
museum sejarah, terdapat museum pendidikan. Bangunan dua lantai ini sangat
sepi. Tampaknya, siang itu hanya kami yang tertarik untuk memasukinya. Di
dalamnya juga terdapat diorama, benda bersejarah, papan informasi, dan foto
yang menggambarkan perkembangan pendidikan di Malaysia.
Selanjutnya, kami bergerak ke bagian
samping museum untuk menuju museum berikutnya. Tapi, tunggu, halaman samping
museum sejarah ternyata bagus banget. Halaman tertutup tegel klasik,
dikelilingi dinding tinggi berwarna merah. Ada beberapa pintu serupa terowongan
dengan tangga masuk yang juga klasik. Taman kecil memberi sentuhan hijau asri.
Dan, semua terasa kontras dengan tangga putih yang membawa pengunjung menuju
Galeri Cheng Ho. Patung laksamana dari Tiongkok ini seolah menyambut
pengunjung, tepat di depan tangga.
Wajah-wajah penyair Melayu |
Dua sastrawan tersohor pada masanya |
Sudut peninggalan seni |
Lorong di lantai bawah tanah |
Buku-buku sastra |
Majalah tempo dulu |
Buku-buku tua dengan huruf Arab Melayu |
Pak Zuhri yang gemar sastra mengajak saya
bergegas menuju museum sastra. Beda dengan bangunan-bangunan sebelumnya, museum
sastra didonimasi tembok putih dengan aksen kayu di beberapa bagian. Di museum
ini yang juga sepi pengunjung ini, kita bisa mendapati bukti literasi sastra
Melayu dari masa ke masa. Sebagai guru Bahasa Indonesia, kami begitu antusias
ketika menemukan buku, papan biografi singkat para penyair, serta papan
informasi sastra Melayu, terutama yang juga dipelajari di Indonesia seperti
gurindam, pantun, seloka, hikayat, dan masih banyak yang lain. Begitu pula deretan
penyair Melayu seperti Raja Ali haji, Munshi Abdullah, dan Syed Syeikh Al Hadi.
Ke mana lagi kaki kami melangkah di Melaka?
Ikuti kisahnya di post berikutnya ya. Tulisan di post ini sudah terlalu
panjang. Hehehe. (*)
9 comments
Wah, ternyata banyak juga ya negara yang menjajah Melaka
ReplyDeleteDan semua negara itu memberi peninggalan sejarah hehehe
DeleteBeneran Melaka ini bisa disebut Kota Merah ya. Btw, banyak ya homestay di sini, Mas?
ReplyDeleteIya Pak, banyak bangunan yang berwarna merah. Homestay banyak banget di sepanjang Sungai Melaka.
DeleteKalau bukan guru, mungkin Pak Mas Edy juga tidak masuk ke museum pendidikan. Heheheh
ReplyDeleteBisa jadiiii hehehe. Tahu aja Mas
DeleteMuseum sastranya seperti mengundang untuk berlama-lama baca di sana
ReplyDeleteWah, itu artinya Mas Robby suka baca sastra ya. Mantaaap!
DeleteFoto-fotonya keren, Bapak
ReplyDelete