Bromo sudah jadi ikon wisata Jawa
Timur, bahkan Indonesia. Orang Jatim belum pernah ke Bromo, wah itu sih
kebangetan. Masa orang asing saja sudah tidak asing dengan pegunungan seluas
50.276,3 hektare yang diresmikan sebagai taman nasional sejak 1982 ini. Itulah
mengapa saya tak cukup sekali mengunjunginya. Kali ini saya akan berbagi
pengalaman meng-explore keindahan Bromo bersama Indonesia Discoverer.
Setelah berkutat
dengan pekerjaan yang cukup memeras otak, weekend kemarin saya
memutuskan menyelamatkan mood kerja pekan ini. Apa lagi kalau bukan
dengan merasakan udara bebas dan menikmati belahan lain bumi yang memikat mata.
Pilihan saya kali ini jatuh pada sebuah pantai di Lamongan, Jawa Timur. Namanya
yang unik membuat saya berhasrat membunuh rasa penasaran. Pantai Kutang. Iya, itu namanya. Unik bukan? Eh, unik atau tabu ya?
Bicara soal pantai di Tuban, dulu
saya sempat memandang sebelah mata. Ah, paling juga pantai berpasir hitam yang
kotor, airnya cokelat, tak ada menarik-menariknya. Namun, dugaan saya itu salah
setelah saya berkunjung ke Pantai Remen.
Ternyata, pasirnya putih dan hutan cemaranya bikin pantai tampak indah. Nah, begitu
ada perlu buat pemotretan, saya tak ragu memilih pantai lainnya di Tuban.
Seorang kawan merekomendasikan Pantai Sowan.
Selama pelatihan di LPMP Mataram, setiap
hari sesi berakhir pukul 17.00. Namun, adzan Magrib di sana berkumandang pukul 20.00.
Itu artinya saya punya waktu sekitar dua jam untuk mengenal sudut-sudut kota
ini. Salah satunya berburu sunset di Pantai Ampenan yang hanya berjarak
tempuh sekitar 15 menit dari lokasi pelatihan. Saya yang semula hendak memakai
jasa kendaraan online mendapat keberuntungan karena Pak Yusran, guru
SMAN 1 Pemenang, Lombok Utara, bersedia mengantar.
“Kalau ke Lombok, jangan sampai
melewatkan Bukit Merese. Sunset di sana kece banget!” kata seorang kawan
guru yang tinggal di Lombok.
Saran itu entah mengapa selalu
terngiang sampai saya berkesempatan menginjakkan kaki di pulau ini. Selepas
merasakan ketenangan Pantai Mawun, kami pun bergegas menuju Bukit Merese di
kawasan Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Berbekal info dari warga lokal, kami
menemukan sebuah jalan pintas di antara ladang
jagung. Terdapat papan nama Bukit Merese di mulut gang.
Belum habis rasa terpukau akan keindahan Selong Belanak, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Saya sengaja meminta Pak Yusran, rekan guru yang bertugas di SMA Negeri 1 Pemenang, Lombok Utara, untuk memilih pantai terdekat yang tak kalah indah. Beliau menyebut Pantai Mawun. Tanpa berusaha mencari infonya di Google, saya dan Bu Endah, guru SMKN 1 Jombang, Jawa Timur, sepakat karena percaya Pak Yusran tak akan salah pilih.
Bertemu kawanan kerbau di sawah atau rawa-rawa, itu sih biasa. Bertemu gerombolan kerbau di pantai, itu baru luar biasa. Pemandangan unik ini dapat kita saksikan kalau berkunjung ke Pantai Selong Belanak di Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Hewan-hewan ternak ini diarak menyusuri pantai seolah menyapa para pengunjung yang berjemur, bermain pasir, atau bersiap-siap untuk berselancar.
Bagi saya, kesempatan mendatangi masjid terbesar di sebuah
kota yang saya kunjungi merupakan kebahagiaan tersendiri. Selain beribadah, saya
bisa menyelami suasana religiusnya dengan mengamati atau bahkan berbincang
dengan para jamaah. Rasa bahagia kian membuncah jika masjid itu tersohor akan
kemegahan atau keunikannya. Wah, makin semangat tuh. Itulah mengapa, saat
berada di Semarang, Masjid Agung Jawa Tengah menjadi salah satu destinasi wajib
saya.
Sumber: Antara Foto/Indrianto Eko Suwarso/ed/aww/15
|
Untuk perjalanan jarak jauh, biasanya banyak orang yang lebih memilih naik pesawat daripada bus. Ada banyak alasan yang melatarbelakanginya. Salah satunya karena cara pemesanan yang lebih cepat. Pembelian tiket
bus kebanyakan masih konvensional dengan membeli langsung ke loket penjualan di
terminal dan pool bus. Pembelian tiket kereta api
dan pesawat dianggap lebih praktis dengan pembelian online. Untuk datang ke agen bus
terdekat, memesan tiket dan membayar secara langsung, kadang membuang banyak waktu. Tapi, tenang, sekarang
kamu pun bisa membeli tiket bus online
dengan mudah lewat aplikasi Traveloka.
Sebenarnya, saya bukan penggemar kopi. Bahkan, saya awam soal
kopi. Namun, begitu dengar kabar tentang Kelas Kopi dari Kak Fahmi Anhar, entah
mengapa saya jadi penasaran untuk merasakan sendiri sensasi meracik kopi di
sini. Jadi, waktu ke Semarang beberapa waktu lalu, saya meluangkan waktu
mendatangi kafe kopi di lantai dua Nestcology ini.
Setelah puas berkeliling Lawang Sewu, selanjutnya saya
mengarahkan tujuan ke Sam Poo Kong. Kelenteng yang berdiri megah di kawasan Simongan
ini merupakan salah satu destinasi yang wajib dikunjungi kalau kita sedang berada
di Kota Semarang. Mau tahu mengapa? Selain menjadi tempat ibadah bagi kaum
Tridharma, bangunan ini juga menyimpan banyak bukti sejarah sebagai petilasan
seorang laksamana Tiongkok beragama Islam, Zheng He atau Cheng Ho.
Pernahkah kalian datang ke objek yang sama karena masih
penasaran atau belum puas? Itulah yang saya rasakan saat berkunjung ke Lawang
Sewu, Semarang. Ceritanya, saya datang awalnya pagi hari. Saat itu ramai
pengunjung dan langit pucat pasi. Selang satu hari, saya datang lagi pada malam
hari. Saya berharap menemukan atmosfer yang berbeda, apalagi Lawang Sewu
tersohor akan kisah mistisnya.
Pariwisata sudah
menjadi salah satu sektor yang mengandung magnet untuk dikembangkan. Kini
banyak pihak yang berlomba melambungkan potensi wilayahnya sebagai destinasi
pilihan para penikmat liburan. Mereka menangkap peluang dengan menyulap potensi
alam yang sebelumnya tak terawat menjadi lokasi yang menarik untuk dikunjungi. Sosial
media, terutama Instagram, menjadi etalase yang sangat efektif untuk menyerap
daya tarik.
Salah satu pemantik semangat saya
saat mendatangi wilayah baru adalah bertemu dengan penduduk setempat dan
mengenal adat istiadatnya. Menarik rasanya mengetahui kebiasaan, cara bertutur,
sampai sudut pandang yang berbeda. Itulah mengapa saya antusias ketika
mendatangi Kampung Ende di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Di
kampung yang berjarak tempuh 20 menit dari Bandara Internasional Lombok ini,
saya berkenalan dengan suku Sasak.