KEDUNG PETI, TUNGGU AKU KEMBALI
17:51:00
Suatu siang yang sendu merayu pada musim kemarau, tiba-tiba saya
berhasrat mendatangi Kedung Peti. Bermodal informasi ala kadarnya, sepulang
mengajar, saya mengarahkan kendaraan menuju kawasan barat Bojonegoro. Tujuan
saya adalah Desa Malo di Kecamatan Malo. Tanpa ekspektasi, yang penting jalan. Jika
objek ini bagus, alhamdulillah. Jika tidak, saya sudah puas membunuh rasa
penasaran.
Dari Kota Bojonegoro, saya menempuh rute Jetak ke arah Kalitidu.
Sampai Pertigaan Ngringinrejo, saya belok kanan menuju Kecamatan Malo. Selepas
jembatan di atas Sungai Bengawan Solo yang menghubungkan Kecamatan Kalitidu dan
Malo, saya menemui lagi sebuah pertigaan. Daripada tersesat dan tak tahu arah jalan
pulang, saya bertanya ke warga di sebuah toko. Jawaban akurat pun saya dapat. Sekitar
3 kilometer ke arah utara, sebuah pertigaan dengan papan petunjuk menjadi penanda
untuk belok kanan.
Dua bocah bertelanjang kaki berlarian saat saya menghentikan
kendaraan tepat di pertigaan itu. Dari dua bocah inilah, saya mendapat info
bahwa kendaraan bisa diparkir di depan rumah warga. Selanjutnya, saya harus
jalan kaki. Kata si bocah yang saya lupa bertanya namanya itu, Kedung Peti tak
jauh lagi. Tetapi. realitanya, saya harus jalan kaki sekitar 2 kilometer,
menyusuri jalan setapak di tengah ladang jagung, kacang, dan cabai.
Hamparan ladang dan hutan |
Tak terasa, jalan 2 km saja, sudah berada di puncak bukit |
Jembatan Malo |
Tingkat kemiringan jalan ini tak terasa. Tiba-tiba saja saya
berada di dataran tinggi. Ketika berbalik badan, saya bisa melihat hamparan
Kecamatan Malo dan Kalitidu dari ketinggian. Jembatan di atas Sungai Bengawan
Solo yang tadi saya seberangi tampak menyembul di antara pepohonan. Tampak pula
kawasan eksplorasi minyak di Lapangan Banyuurip Blok Cepu. Di puncak bukit setinggi
ini, saya berharap mendapatkan bonus sunset saat pulang nanti.
Lalu, di mana letak Kedung Peti? Tepat saat pertanyaan itu
melintas di kepala, saat itu pula seorang nenek dengan ranting kayu bakar di
punggungnya melintas. Si nenek baik hati ini menunjuk sebuah jalan setapak di
balik semak-semak. Tanpa menunggu lama, saya mendekati jalan itu. Suara
gemericik air telah terdengar. Itu tandanya Kedung Peti sudah di depan mata.
Namun, pepohonan dan semak-semak yang rimbun menghalangi pandangan saya.
Kedung Peti, terlihat dari atas tebing |
Air terjun tak sederas saat musim hujan |
Saat musim hujan, volume air lebih tinggi |
Potensi wisata Bojonegoro |
Di ujung jalan setapak itu, akhirnya saya temui Kedung Peti. Namun,
untuk mendekati air terjun ini, saya harus menuruni tebing yang curam. Untung
saat itu musim kemarau. Tebing tanah kering dan padat. Ranting dan akar
pepohonan pun bisa jadi pegangan agar tak terpeleset. Begitu sampai di dasar
tebing, tampaklah Kedung Peti secara utuh.
Sepi pengunjung dan tanpa pengelola |
Air kolam jernih dan dingin |
Kedung Peti merupakan air terjun setinggi sekitar 10 meter
dengan tiga tingkatan. Tanaman perdu menghiasi beberapa bagian tingkatan itu. Di
dasar air terjun, terdapat sebuah kolam kecil. Karena dangkal, hanya selutut
saya, air tampak kebiruan. Di salah satu sudut kolam, terdapat aliran yang
mengarahkan air ke sungai kecil. Namun, karena saat itu musim kemarau, air terjun
Kedung Peti tak deras, hingga tampak hanya seperti rembesan. Kabarnya, pada
musim hujan, air Kedung Peti lebih deras.
Sunset di puncak bukit |
Ilalang menambah syahdu |
Kedung Peti, tunggu aku kembali |
Tak lama saya berada di sini, hari mulai gelap. Saatnya saya
kembali, meninggalkan Kedung Peti dengan
sebuah janji. Saya akan berkunjung lagi saat musim hujan tiba, untuk merasakan
derasnya air terjun ini. Di perjalanan selepas Kedung Peti, tepatnya di puncak
bukit, benar dugaan saya, sunset menjadi suguhan penutup hari. Ilalang-ilalang
menambah syahdu momen kembalinya matahari ke peraduan di kala senja itu. (*)
2 comments
Jembatan Malo kayak Golden Gate Bridge yah.
ReplyDeleteHehehe, iya Mas Mirwan. Banyak lho yang suka foto di sana.
Delete