SEMANGAT MEMBARA MENDAKI GUNUNG LANGARA
18:41:00
Suatu anugerah Tuhan yang luar biasa bagi saya. Pulau
Kalimantan, yang selama ini hanya saya lihat di video atau gambar, kini dapat
saya datangi. Sebuah tugas pelatihan membawa saya ke bumi Borneo ini, tepatnya
di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selain tugas yang saya yakini memberi saya
banyak pengalaman dan teman, ada satu misi yang semakin membuat saya
bersemangat saat berkemas. Tentu saja pesona alam atau budayanya. Saya sadar,
kesempatan menjelajah alam Kalimantan Selatan bukanlah tujuan utama. Karena
itu, saya harus bersabar merampungkan urusan pekerjaan sambil mengumpulkan
informasi tentang objek alam dan budaya yang menarik di Kalimantan Selatan.
Sehari sebelum acara penutupan pelatihan, di kelas,
saya membuka pembicaraan tentang objek wisata di Kalimantan Selatan. Beberapa
teman menganjurkan saya mengunjungi sejumlah tempat. Bu Yuni, guru SMAN 1
Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, misalnya, menceritakan keindahan
pemandangan alam Loksado. Selain air terjun, di Loksado terdapat pula sungai
untuk rafting dengan rakit bambu
serta Gunung Langara. Bukan hanya merekemondasikan tempat, Bu Yuni juga
bersedia menjadi guide saya. Segala
keraguan saya pun sirna. Besar harapan saya waktu saya cukup untuk mengunjungi
Loksado.
Esoknya, waktu menunjukkan pukul 11.00 WITA. Saya, Bu Yuni,
dan rekan sekamar saya, Pak Tobing (guru SMAN 3 Sibolga, Sumatera Utara), telah
siap berangkat. Ini bukanlah waktu yang ideal. Jika ingin leluasa, seharusnya
kami berangkat lebih pagi. Namun, saya masih bersyukur, Bu Yuni memastikan
waktu kami cukup untuk mendaki Gunung Langara. Jika ada keajaiban (baca:
harapan kecil), kami bisa melanjutkan penjelajahan ke air terjun dan sungai
untuk rafting dengan rakit bambu. Memang,
menurut Bu Yuni, umumnya objek alam di Kalimantan Selatan terletak jauh dari
Kota Banjarmasin.
Memulai pendakian |
Loksado merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Menurut Bu Yuni, kami butuh waktu tiga jam untuk sampai di
tujuan pertama kami, Gunung Langara. Dari Kota Banjarmasin, kendaraan kami
melaju melewati Kota Banjar Baru, Martapura, dan Rantau. Perjalananan kami
waktu itu sangat lancar. Padahal, hari itu tepat 17 Agustus, yang identik
dengan beragam perayaan HUT Republik Indonesia seperti upacara bendera,
karnaval, gerak jalan, atau lomba-lomba tradisional. Namun, hanya di beberapa
tempat kami melihat kerumunan warga di lapangan untuk menyaksikan panggung
dangdut atau memeriahkan lomba-lomba khas Agustusan.
Setelah istirahat makan siang dengan menu beragam ikan air
tawar, saya terlelap dalam perjalanan. Mata saya terbuka saat kendaraan mulai
masuk Kabupaten Kandangan. Pemandangan yang terlihat bukan lagi lahan datar,
melainkan perbukitan dengan tebing-tebing tinggi. Pepohonan hijau menyegarkan
suasana. Wajah-wajah ramah penduduk membuat saya seolah tidak sedang pergi jauh.
Tak lama kemudian, sampailah kami di Desa Lumpangik, Kecamatan Loksado. Banner bertulisan Objek Wisata Gunung
Langara memandu kami menuju ke sebuah tempat parkir.
Perhatikan bebatuannya yang cadas |
Turun dari kendaraan, saya mengambil jaket dan air minum. Dua
benda itulah andalan saya sebagai antisipasi jika cuaca di puncak Gunung
Langara panas. Seorang bapak penjaga parkir mempersilakan kami membeli tiket
masuk seharga Rp 5.000/orang di loket berbentuk saung, tak jauh dari lahan
parkir. Bu Yuni yang sudah pernah mendaki gunung ini berjalan lebih dulu. Saya
dan Pak Tobing mengekor di belakangnya. Jalan setapak menanjak menyambut kami.
Pepohonan teduh melindungi kami dari sinar matahari Kalimantan yang menyengat.
Lima belas menit kemudian, napas mulai tersengal dan jantung
mulai berdetak lebih cepat. Tanpa dikomando, kami beristirahat sambil
mengumpulkan kembali tenaga. Saya dan Pak Tobing hanya tertawa, menyadari usia
yang tak lagi muda. Untunglah, jiwa dan semangat kami masih bisa dibilang muda.
Sejengkal demi sejengkal, langkah kami kemudian sampai di sebuah warung tenda.
Kami sepakat beristirahat.
Saya pun berbincang dengan sejumlah pengunjung yang baru saja
turun dari puncak gunung. Mama Said, si ibu pemilik warung, menghibur kami dengan
mengatakan bahwa puncak gunung tak jauh lagi. Beliau juga berbaik hati
meminjamkan (baca: akhirnya memberikan) sandalnya untuk Bu Yuni. Asal tahu
saja, sandal kulit Bu Yuni putus saat mendaki.
Hamparan hutan terbelah Sungai Amandit |
Rasa syukur luar biasa |
Meski puncak gunung sudah dekat, bukan berarti langkah kami semakin
ringan. Tantangan di depan kami cukup ekstrem. Kami harus melewati bebatuan
yang runcing dan tajam. Untunglah saat itu saya mengenakan sepatu bersol tebal.
Namun, saya mengkhawatirkan Bu Yuni yang hanya memakai sandal jepit. Kami harus
sangat berhati-hati. Apalagi, beberapa bagian batu rapuh dan goyah saat
dipijak.
Bukan hanya itu. Di sisi kanan dan kiri kami, jurang terjal
seolah memberi peringatan kepada kami agar tak terlalu menepi. Tantangan ini
semakin sempurna dengan panas matahari yang menyengat kulit. Dalam kondisi
seperti itu, Bu Yuni menyemangati kami dengan menjanjikan view yang indah saat tiba di puncak. “Sampai di puncak nanti, semua
rasa capek akan terbayar, Pak,” ujarnya sambil mengusap keringat di keningnya.
Langit biru dan gumpalan awan menambah indah suasana |
Dan, Bu Yuni benar. Sesampai di puncak, saya dan Pak Tobing
berdecak kagum. Hamparan hutan hijau terbentang di depan mata. Pemandangan
semakin eksotis lantaran hutan ini terbelah liukan Sungai Amandit dari ujung
sejauh mata memandang. Mahakarya Tuhan ini dikelilingi Pegunungan Meratus yang
menjulang kokoh. Cuaca cerah yang menghadirkan langit biru dan gumpalan awan
putih sungguh mengagumkan.
Tak terasa lagi peluh yang membasahi badan, tak terasa lagi
penat yang menggantung di betis, tak terasa lagi panas yang membakar kulit. Yang
terasa adalah rasa syukur, Tuhan telah memberi saya kesempatan untuk melihat
dengan mata kepala sendiri dan merasakan sensasi keindahan puncak Gunung
Langara. Yang terasa adalah keinginan untuk menikmati setiap detik waktu yang
mungkin tak kan terulang lagi.
Terucap doa untuk kelestarian alam ini |
Gunung Langara mulai terekspos sebagai objek wisata sejak
tahun lalu. Bermula dari anak-anak sekolah yang mengunggah fotonya di medsos,
nama Gunung Langara pun naik daun. Bahkan, tim My Trip My Adventure Trans 7 juga sempat meliputnya. Kini, pada
hari libur, Gunung Langara ramai pengunjung. Sayangnya, banyaknya pengunjung
yang tak bertanggung jawab membuat kondisi puncak Gunung Langara tak bersih
lagi. Beragam coretan mengotori bebatuan cadas di sana. Sampah berupa botol
minuman dan kertas pesan alay pun berserakan. Sudah saatnya puncak Gunung
Langara dipelihara. Bukan hanya oleh pengelola, tetapi juga para pengunjungnya.
Sejuk segar air Sungai Amandit menutup petualangan |
Setelah puas merasakan sensasi puncak Gunung Langara, kami
sepakat turun. Saat mendaki, kami membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Untuk
turun, tidak lebih dari 30 menit, kami
sudah sampai di lahan parkir. Tak sabar rasanya mendinginkan tubuh di Sungai Amandit
yang berada tepat di sisi tempat parkir. Saya pun mencuci kaki, membasahi
tangan, dan membasuh muka sebagai penanda sah bahwa saya telah menyatu dengan sungai
ini. Airnya yang dingin dan jernih mengobati seluruh rasa gerah. Bagi saya,
kesegaran Sungai Amandit merupakan penutup yang sempurna untuk pengalaman
mendaki Gunung Langara. (*)
14 comments
Itu di foto ada asapnya. Asap belerang ya mas?
ReplyDeleteBukan asap belerang, Mas. Waktu itu ada warga yang bakar kayu, bikin perapian, seperti memasak sesuatu.
DeleteNice gambar pak ...
ReplyDeleteMatur suwuuuun, Pak Pur. Hehe
DeleteMas Edy naik gunung aja rapi banget, pake kemeja sama sepatu pantofel hehe. Btw kenapa Bu Yuni pakai sendal jepit ya? Naik gunung, berapapun rendahnya, sebaiknya menggunakan alas kaki yang proper.
ReplyDeleteJadi kami waktu itu pulang acara pelatihan, Kak, ga ada niat awalnya buat naik gunung ini. Makasi yaa sarannya
DeleteSenang melihat pegunungan dan hutan yang masih alami. Dampak negatif social media adalah ekspos berlebih terhadap suatu tempat wisata. Sehingga lebih banyak dikunjungi wisatawan, yang tidak semua ramah lingkungan. Semoga tetap terjaga kealamiannya. Salut dengan perjuangan naik Gunung Langara. Puas sekali sampai di puncak ya.
ReplyDeleteIya, Mas, semoga tetap terjaga kelestariannya. Sampai puncak gunung ini puasssss banget hehehehe
DeleteRapi banget naik gunungnya mas... hehehe...
ReplyDeletePulang kerja nih, mas, hahahaha
DeleteWkwkw senyum2 sendiri pas baca ini. Jadi inhet pas naik gunung kemaren di situbondk. Sombong bngt bawa bekal dikit. Akhrnya tepar dah.. Wkwk...
ReplyDeleteJernih banget... Pas banget langitnya bersih juga ya mas....btw mas edy kok gak keliatan berkeringat ato berantakan si di foto? Kalo aku mah udah gak jelas pasti...
Batunya bagus.... Gak sedih deh cape cape naik sampe sendal ibunya putus. ������
Aslinya basa kuyup juga Mas karena keringat. Tapi, sebelum foto, saya cuci muka pakai air mineral, terus dilap pakai jaket, hahahahaha
DeleteKota Banjarmasin terkenal dengan Pasar Apung Lok Baintan di Sungai Martapura. Baca artikelmu, jadi tahu ada destinasi wisata lain yang menarik dikunjungi seperti Sungai Amandit dan Gunung Langara :)
ReplyDeleteGak sia-sia ya cape mendaki, dapet pemandangan kece :)
Ini alternatif lain kalo ke Banjarmasin, kak
Delete