WISATA EDUKASI DI KEBUN TEH WONOSARI
11:44:00
“Aku mau naik kuda lagi,” rengek Jindan.
Ini adalah permintaan ketiga bocah berusia 7 tahun itu. Yahya,
sang adik, pun tak mau kalah. Dia juga ingin naik kuda lagi. Rupanya, dua
putaran naik kuda belum cukup bagi dua anak yang tergolong aktif itu.
“Jindan, Yahya, kalian kan sudah dua kali naik kuda. Cukup ya,”
ujar sang ayah.
“Tapi kan aku belum naik kuda yang itu,” rajuk Jindan sambil
menunjuk seekor kuda berponi di sudut taman itu.
“Iya, aku juga mau yang itu,” timpal Yahya.
“Sudah, cukup naik kudanya. Sekarang kita jalan ke sana yuk.
Itu ada menara. Nanti kita naik menara,” bujuk sang ayah, mengalihkan perhatian.
Jindan terlihat antusias. “Nanti naik sampai atas ya.”
“Aku juga mau naik sampai atas,” seru Yahya, tak mau kalah.
Begitulah keriaan di sela-sela acara reuni kecil Minggu pagi
itu di Kebun Teh Wonosari, Lawang, Malang. Saya dan istri bertemu dengan Basyir,
teman semasa kuliah saya dulu. Basyir ditemani istri serta dua jagoannya, Jindan
dan Yahya. Jindan kini duduk di bangku kelas 1 SD, sedangkan Yahya tercatat
sebagai siswa TK.
Kami memang memilih kebun teh ini sebagai tempat bertemu. Karena
datang dari arah yang berbeda, kami sempat saling menunggu. Saya dan istri yang
tiba lebih dulu menyempatkan diri berkeliling areal kebun yang berada di kaki
Gunung Arjuno ini. Saat kami masih berkeliling, Basyir dan keluarga tiba dan
memarkir kendaraan di sudut taman, dekat wahana berkuda.
Sebuah sudut kebun teh. |
Kebun teh berlatar Gunung Arjuno |
Saat itulah, Jindan dan Yahya naik kuda ditemani orang
tuanya. Ketika kami datang, ternyata Jindan dan Yahya ingin kembali naik kuda.
Kali ini mereka meminta saya dan istri yang menemani. Jujur saja, itu adalah
pengalaman pertama saya naik kuda. Kalau bukan karena menemani anak-anak lucu
ini, sepertinya sampai sekarang saya tak akan merasakan sensasi menaiki
binatang yang kerap dipakai pacuan ini.
Untunglah, perhatian anak-anak ini mudah dialihkan. Ada
beberapa menara pandang di kebun teh seluas 1.144 hektare ini. Kami berenam memilih
menara kecil di tepi salah satu jalan utama kebun teh. Menara ini tak terlalu
tinggi. Meski demikian, bagi anak-anak, meniti tangga besi ini ternyata menjadi
latihan memacu keberanian, apalagi bagi Yahya yang baru berusia 5 tahun.
Dari atas menara, sepanjang mata memandang, terbentang
hijaunya kebun teh. Tampak pula beberapa ibu pemetik teh yang sedang bekerja.
Angin sepoi membawa udara sejuk khas pegunungan. Sesekali saya membidikkan
lensa kamera ke arah objek yang menarik. Namun, tiba-tiba, nyali Yahya
mengendur.
“Om, aku takut. Aku mau turun,” pinta Yahya, seraya
menarik-narik celana saya.
Saya pun duduk dan mencoba menenangkan bocah imut ini. Karena
masih ingin memotret, sengaja saya berikan kamera ke tangan Yahya. Saya bimbing
tangan mungilnya mengarahkan lensa ke objek dan memotretnya. Yess! Win-win solution. Saya masih bisa memotret. Yahya pun tak takut
lagi bertahan lebih lama di atas menara.
Jindan turun tangga bersama istri saya. |
Basyir dan keluarga di antara rerimbun teh. |
Sementara itu, Jindan turun lebih dulu dengan istri saya.
Sedangkan Basyir dan istrinya sibuk mencari objek foto dengan menyusup ke
sela-sela rerimbun daun teh. Tak lama kemudian, Jindan dan Yahya pun menyusul
ayah dan ibunya. Mereka tampak menikmati panorama kebun teh yang berada di
ketinggian 950-1.250 meter di atas permukaan laut ini.
Kebun teh pertama yang jadi objek wisata |
Kebun teh terbentang bak permadani hijau. |
Setelah mengitari sebagian kecil kebun teh, kaki-kaki kami
mulai meminta waktu untuk beristirahat. Kami lalu duduk-duduk santai di bawah pohon
beringin yang teduh dan rindang. Ah, saat yang tepat untuk menikmati bekal
makanan dan minuman yang dibawa dari rumah. Namun, jangan kira anak-anak bisa
jenak begitu saja. Rasa ingin tahu rupanya membawa mereka berlarian ke
sana-sini.
“Tante, ini apa?” teriak Jindan dari tepi kolam kecil di
samping pohon beringin.
“Oh, itu kecebong, Jindan. Tahu kecebong? Kecebong itu anak
kodok,” terang istri saya.
Jindan dan Yahya tak henti-hentinya mencoba menangkap
kecebong dengan gelas air mineral. Mereka ingin melihat dari dekat wujud
binatang yang baru mereka kenal itu. Ternyata, banyak hal yang bisa menjadi wahana
edukasi bagi anak-anak di kebun teh ini. Senang rasanya membawa mereka ke objek
wisata alam yang aman dan bernilai edukatif seperti ini. Bukan hanya hiburan,
anak-anak pun membawa pulang pengalaman belajar yang menyenangkan.
Pemetik teh sedang bekerja |
Pemetikan pucuk teh adalah proses awal produksi |
Bagi saya, ini juga menjadi pengalaman pertama melihat kebun dengan
mata kepala sendiri. Ternyata, Kebun Teh Wonosari adalah kebun teh pertama di
Jawa Timur yang dijadikan juga sebagai tempat wisata. Pengunjung bisa melihat
langsung proses pengolahan daun teh dari penerimaan pucuk teh, pelayuan, penggilingan,
fermentasi, pengeringan, sortasi, pengepakan, hingga pengiriman.
Sebagai objek wisata edukatif, tarif Kebun Teh Wonosari tak
terlalu mahal. Hanya Rp 8.000/orang pada Senin-Sabtu dan Rp 12.000/orang pada Minggu
dan hari libur nasional. Untuk menarik minat pengunjung, pengelola juga
menyediakan sejumlah fasilitas seperti penginapan, kebun binatang mini, kolam
renang, flying fox, berkuda, wall climb, paint ball, dan kafe teh. (*)
2 comments
Beberapa pekan lalu saat mengantar teman penelitian di Paguyangan, Brebes, kami menginap semalam di kebun teh PTPN IX Kaligua. Di kaki gunung Slamet, ketinggian sekitar 1.500-2.050 mdpl, jauh lebih tinggi daripada kebun teh Wonosari.Tapi, waktu breakfast kan disajikan teh hangat produk sana. Menurut saya, lebih enak dan segar teh Wonosari, Lawang ini. Kalau saya lihat mengenai pengemasannya saja, kebun teh Wonosari lebih unggul dengan produk Rolas-nya.
ReplyDeleteTapi memang, overall, berwisata di kebun teh itu sederhana, cukup bikin fresh, apalagi kalau sama keluarga :)
Waah, terima kasih infonya, Mas Rifqy. Memang kalau bawa keluarga, apalagi anak-anak, Kebun Teh Wonosari ini pas banget. Banyak wahana, udara sejuk, ada sisi edukasi pula.
Delete