MEMBAYAR JANJI KE KEDUNG PETI
22:06:00
Penasaran harus dibunuh. Kalau tidak, rasa ingin tahu itu akan
menjadi pertanyaan tanpa jawaban yang mengusik benak. Tahun lalu, saya menemukan
Kedung Peti, sebuah air terjun di Bojonegoro. Karena saat itu musim kemarau tengah
melanda, air terjun ini hanya menyisakan tebing dan telaga tanpa gemericik air.
Saat itu pula, saya berjanji dalam hati akan kembali mengunjunginya.
Tak dinyana, kesempatan itu pun tiba. Februari lalu, saya
menemani teman-teman Travel Bloggers
Indonesia (TBI), Koko Hartadi Putro, Kak Leonard Anthony, Kak Tracy Chong,
dan Kak Imama Lavi Insani, meng-explore
alam Bojonegoro. Setelah menikmati view
pegunungan Negeri Atas Angin di Kecamatan Sekar dan menyaksikan fenomena langka
Kayangan Api di Kecamatan Ngasem, kami menutup hari itu dengan mendatangi
Kedung Peti di Kecamatan Malo.
Kendaraan kami sampai di Desa Ketileng, Kecamatan Malo,
sekitar pukul 16.00. Setelah menitipkan kendaraan di rumah warga, kami berjalan
kaki menuju air terjun. Terdapat tulisan di sana, jarak antara perkampungan
penduduk itu dengan air terjun sekitar 2 kilometer. Cuaca yang tak menentu
jujur saja sempat membuat saya sport
jantung. Langit cerah bisa saja tiba-tiba gerimis, bahkan hujan deras. Namun,
saya memaksa diri optimistis bahwa langit sore itu akan bersahabat.
Meskipun sudah pernah ke sini, terus terang saya tak mampu mengingat
dengan baik jalan menuju Kedung Peti. Bagaimana tidak, lahan kebun yang dulu
kering saat kemarau kini menjadi hijau dengan banyak tanaman. Bahkan kini
terdapat peternakan ayam di tengah-tengah hutan. Untunglah, kami beberapa kali
berpapasan dengan warga setempat yang pulang dari ladang. Kesempatan itu saya gunakan
untuk memastikan bahwa kami tak tersesat.
Belum dikelola, masih alami |
Air deras saat musim hujan |
Sisa hujan menyisakan genangan dan menyebabkan beberapa
bagian jalan setapak itu becek. Tak heran, seorang nenek yang kami temui
berseloroh, “Orang-orang kota kok nyari susah.”
“Kami sudah biasa jalan kaki di hutan kok, Mbah” jawab Ko
Har.
“Jalan lurus saja, Mas. Masih jauh,” ujar sang nenek.
“Baru kali ini ada warga lokal yang bilang jauh. Biasanya
yang jauh dibilang deket sama mereka,” celetuk Ko Har. Kami pun tertawa.
“Tapi aku selalu suka sama warga yang ramah dan tulus,” puji
Ko Leo.
Obrolan penuh gelak itu tak terasa mengantarkan kami sampai
pada persimpangan jalan. Nah, kalau ini, saya ingat persis. Kami harus memilih
belok ke kanan. Itu artinya air terjun tak jauh lagi. Benar saja, di ujung jalan setapak itu, kami bertemu tebing
curam. Telaga Kedung Peti telah terlihat. Namun, kami tak bisa melihat dengan
jelas air terjun lantaran tertutup rerimbun pepohonan. Kami pun tak bisa turun
karena tebing curam itu basah dan licin. Tak mungkin bagi Kak Imama yang saat
itu mengenakan rok panjang untuk merayap menuruni tebing.
Kak Imama (www.imalavins.com) |
Kak Tracy (www.peekholidays.com) |
“Tenang, Kakak-Kakak, ada jalan lain buat turun ke air
terjun, tapi kita harus sedikit memutar,” kata saya.
“Sip, kita ambil jalan itu saja, Mas,” ujar Kak Tracy,
semangat.
Kami pun mengambil jalan ke kanan, menembus ilalang setinggi
pinggul kami. Jalan setapak ini perlahan-lahan semakin rendah, mendekati dasar
tebing. Namun, air terjun masih terhalang oleh pohon-pohon jati. Hanya suara derunya
yang semakin jelas kami dengar. Dan, ternyata, jalan tanah ini basah serta licin.
Tak terhitung berapa kali kami terpeleset atau jatuh. Kami pun berpegangan
tangan, saling menahan saat harus melintasi kubangan atau jalan yang becek.
Serunya, bukan keluhan yang terdengar. Setiap kali ada yang
jatuh, justru pecah tawa kami. “Aku nih yang kayanya paling sering kepeleset.
Kenapa oh kenapa, aku makin ceroboh,” kelakar Kak Tracy.
“Aku malah salah kostum, Kak, pakai rok panjang dan sepatu
model begini,” kata Kak Imama sambil menenteng flat shoes-nya.
Rintangan tak hanya sampai di situ. Begitu sampai di dasar
tebing, kami bertemu sungai kecil. Kami tak bisa berjalan di sungai karena dasar
sungai ini berupa tanah berlumpur. Kaki saya sempat terjerembab ketika mencoba berjalan
di sana. Akhirnya kami memutuskan melewati tepian sungai. Itu artinya kami
menerobos daun-daun pisang dan ranting-ranting pohon yang tumbuh tepat di bibir
sungai.
Ko Har (www.kopertraveler.id) |
Kak Leo (www.cool4myeyes.com) |
Tak sampai 5 menit, akhirnya kami sampai di Kedung Peti. Lupa
sudah segala rintangan yang harus kami lewati. Pemandangan di depan mata mampu
membius rasa kagum kami. Air terjun berketinggian sekitar 20 meter ini terdiri
atas tiga undakan. Setiap tingkatan berhias tanaman perdu hijau. Air yang cukup
deras dan jernih jatuh dari puncak. Kabarnya, air ini bersumber dari mata air
di puncak bukit. Di dasar air terjun, terdapat telaga sedalam lutut yang airnya
dingin dan bening.
“Waah, ini sih indah banget!” teriak Ko Har, kagum.
“Iya, apalagi masih alami begini,” tambah Kak Imama.
“Masih sepi pula,” timpal Kak Leo.
Pict by Kak Leo |
Tak mau kalah cepat dengan hari yang merambat senja, kami mengeluarkan
kamera masing-masing. Panorama air terjun yang belum dikelola sebagai objek
wisata ini harus kami abadikan. Karena tak membawa baju ganti, saya, Kak Leo,
Kak Imama, dan Kak Tracy hanya menikmati pesona Kedung Peti dari tepi telaga.
Sedangkan Ko Har, yang memang sudah berniat basah, masuk ke telaga. Bukan hanya
itu. Dia juga memanjat tebing, naik ke tingkatan pertama air terjun. Setelah puas,
kami pun kembali, meninggalkan Kedung Peti.
Kami di jalan di antara semak setelah menikmati Kedung Peti |
Diam-diam, saya puas. Pertama, saya tak penasaran lagi lantaran
telah menyaksikan derasnya air tejun ini. Kedua, kawan-kawan TBI rupanya juga
menikmati tiga objek alam Bojonegoro yang kami explore hari itu. Ketiga, cuaca yang tak menentu bukan alasan untuk
mengutuk keadaan, sebaliknya kami menikmati perjalanan dengan segala keseruannya.
Semoga ada kesempatan kita traveling lagi ya, Kakak-Kakak. (*)
Catatan: Post ini ditulis dengan penuh rasa kangen *halah
15 comments
huwaaaa bacanya sedihhh kangen jalan bareng lagiiiii :((
ReplyDeleteSemoga bisa bareng-bareng lagi Mei nanti ya, Kak. Amiiin.
DeleteMaturnuwun review nya pak mas edy.
ReplyDeleteKayaknya ni track gak cocok buat anak kecil ya. Gak cocok kalo mo ajak keluarga. Saya tak nyari temen yang mau diajak mbolang kesana dulu deh. ��
Sama-sama, Bu Ita. Hihihi. Iya sih, ini cocoknya kalo sudah remaja kali ya.
Deletemeski cuaca tak menentu, tetapi perjalanan tetap seru itu :D kapan-kapan mau main kesini juga ah~
ReplyDeleteSeru banget, Kak Fahmi. Hehehe.
DeleteKalo ke Bojonegoro, ini salah satu yg recommended.
Wah... Bagus P. Edi tu tempatnya? saya yg dekat situ malah belum pernah kesana, Cuma dengar dr siswa-siswa saya..
ReplyDeleteYa untuk Bojonegoro, lumayanlah Pak. Kan langka air terjun di sini. Coba kapan-kapan main sini, Pak.
Deletesebuah perjalanan selalu punya cerita meskipun tujuan nya kadang sama, apalagi kalau tempat baru seperti ini dan ketemu sosok idola yang selama ini hanya aku kenal di dunia maya...thanks Mas buat pengalaman berharga yang diberikan selam di Bojonegoro...
ReplyDeleteWaduuh, kebalik itu ko soalga idola. Makasih banyak juga buat semuanya. Semoga bisabisa traveling bareng lagi ya.
DeleteBegini ini yang patut dilestarikan. Objek wisata lokal yang potensial. Pak Mas Edy nemu saja tempat keren.
ReplyDeleteAyooo, maen ke sini Pak, jangan kerja terus hehe
Deletekeren kang... pernah kesana juga, perjalanannya yang bikin seru..
ReplyDeleteSetuju, Kang, perjalanan ke sini memang berkesan, hehe
DeleteWah Bojonegoro ternyata punya objek seindah ini ya
ReplyDelete