HUTAN JATI, SENGSARA BERBUAH CINTA
13:35:00
Kupacu
motor di atas jalan hitam yang membelah persawahan. Sudah tak terhitung berapa
perkampungan penduduk yang kulewati. Namun, semua warga yang kutanya menunjuk
arah yang masih jauh. Aku masih harus menemukan hutan jati dan menembus 12 km
jalan di tengahnya. Aku yang seorang pendatang
di wilayah ini benar-benar tak tahu akan seperti apa medan di depan
sana.
Jika
bukan karena ingin berbakti kepada orang tua, aku tak akan melepas pekerjaan
sebagai editor bahasa di sebuah media massa cetak. Kedua orang tuaku
menginginkan aku menjadi guru. Setelah tiga kali tes, aku diterima sebagai guru
PNS di Kabupaten Bojonegoro. Masih ingat sekali, Maret 2005, surat keputusan (SK)
penempatan berbunyi aku bertugas di SMA Negeri 1 Gondang, 45 km dari Kota
Bojonegoro, wilayah terluar yang berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk.
Tak
kusangka jalan di tengah hutan ini penuh tanjakan dan kelokan. Jurang pun tak
jarang memaksa aku berhati-hati lantaran tak dilengkapi pagar pembatas. Baru
beberapa menit jalan, aku sudah didera rasa putus asa. Kuinjak rem motor dan
berhenti di tepi jalan yang teduh. “Ga jadi PNS ga masalah kalau harus begini.
Bagaimana bisa aku pulang-pergi kerja sejauh ini dengan medan sedemikian rupa,”
umpatku dalam hati.
Jalan menuju SMAN 1 Gondang |
Hampir
saja setir aku putar balik. Namun, entah mengapa, tiba-tiba tebersit pikiran.
Sepertinya aku harus lihat dulu seperti apa kondisi desa dan SMA itu. Aku tak
boleh melepas tugas ini begitu saja tanpa melihat dengan mata kepala sendiri
sekolah itu. Baiklah, aku paksakan motor menanjak, meluncur, berkelok, dan
menyeberangi jembatan tua yang membelah sungai di tengah hutan. Sebuah desa
bernama Kedungsumber membuatku berbinar. Akhirnya kutemukan perkampungan
penduduk lagi.
Rupanya,
SMAN 1 Gondang tak jauh dari sini. Hanya sekali bertanya, aku sudah menemukan
lembaga pendidikan yang berdiri di antara sawah ini. Pagar sekolah tak berpintu
sehingga aku bisa masuk tanpa turun dari motor. Tak ada orang sama sekali
karena waktu itu hari Minggu. Aku duduk di depan ruang guru dan memperhatikan
sekeliling. Perbukitan yang dibalut hutan jati mengelilingi desa ini. Angin
yang berembus menerpa mukaku yang letih setelah menempuh 1 jam perjalanan.
Baiklah,
aku harus menjalani tugas ini. Kucari rumah kos untuk tinggal. Beberapa warga
menolak dengan halus lantaran tak memiliki kamar mandi. Mereka terbiasa mandi
di sungai. Untunglah, seorang warga bersedia menyewakan salah satu kamarnya
untuk saya tinggal. Namun, malam pertama di desa ini membuat saya berpikir
ulang untuk tinggal lama lebih lama. Tak ada sinyal HP dan televisi, hujan
deras, listrik padam. Kata Pak Arifin, si pemilik rumah, listrik padam sering
terjadi, bahkan kadang sampai sehari semalam.
Ini
bukan kehidupan yang aku inginkan. Aku putuskan mencari kamar kos di Kota
Bojonegoro. Tak apalah jarak tempuh 1 jam. Aku masih butuh sinyal, nonton TV,
dan listrik. Setiap hari, aku menumpang bus jurusan Bojonegoro-Nganjuk yang
melintas tepat di depan rumah kos hingga sekolah. Sesekali aku naik motor jika
bus tua itu tak kunjung datang. Lama-lama, aku justru menikmati perjalanan.
Setiap masuk kawasan hutan, udara terasa sejuk. Sinar matahari pun tak bisa
menembus jalan lantaran terhalang rimbun pepohonan.
Waduk Pacal, tempat nelayan mencari ikan |
Bukti peninggalan masa penjajahan |
Pemandangan
hijau berupa perbukitan dan hutan nan luas menjadi panorama penghibur diri.
Saat berada di dataran tinggi, sebuah danau bernama Waduk Pacal tampak dari
kejauhan. Jika sedang beruntung, aku disuguhi kabut putih yang menyelimuti perbukitan
itu. Jalan berkelok yang membelah hutan pun kini terlihat menarik dan menantang
untuk dilalui. Di kawasan ini juga terdapat sejumlah gunung kecil, di antaranya
Gunung Lawang dan Gunung Kendil.
Suasana tenang di siang yang meraja |
Begitu
kenal Instagram dan blog, pemandangan di depan mata ini pun menjadi objek untuk
difoto dan ditulis. Aku pun mencari tahu, objek apa saja yang menarik untuk
dikunjungi. Rekan guru dan siswa pun menjadi teman perjalanan. Selepas jam
sekolah, kami menyempatkan diri mendatanginya. Waduk Pacal menjadi incaran
pertama. Rupanya waduk di Desa Kedungsumber ini punya sisi historis yang
menarik. Bendungan Waduk Pacal dibangun pada tahun 1933 oleh
pemerintah penjajah Belanda. Tahun peresmian bendungan dengan arsitektur khas
zaman kolonial itu juga tertulis di menara dam. Hebatnya, sampai saat ini
bangunan dam masih kokoh dan berfungsi baik.
Pulang sekolah, main ke Kedung Gupit |
Tersembunyi di balik bukit |
Objek
incaran selanjutnya adalah Air Terjun Kedung Gupit di wilayah perbatasan antara
Desa Krondonan, Kecamatan Gondang, dan Desa Gayam, Kecamatan Sekar. Jalan
setapak melewati hutan, sawah, kebun jagung, lembah, dan sungai menjadi
tantangan tersendiri. Kedung Gupit berada di balik bukit. Letaknya persis di
sudut bukit, mirip ujung gang buntu. Dari kejauhan, curah air saat itu tampak
hanya segaris. Namun, begitu didekati, baru jelas bahwa air yang turun
menyerupai hujan, melebar beberapa meter di tebing setinggi kurang lebih 8
meter.
Kayangan Api |
Api abadi nan tak kunjung padam |
Sumber api PON XV |
Aku semakin doyan main ke hutan. Kayangan Api menjadi incaran berikutnya. Salah satu destinasi wisata ikon Kabupaten Bojonegoro ini berlokasi di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem. Sejak menjadi lokasi pengambilan api Pekan Olahraga Nasional (PON) XV pada tahun 2000, Kayangan Api kian terkenal. Api tak kunjung pada itu muncul dari balik bebatuan yang dibatasi lingkaran beton. Di sekelilingnya, terdapat empat pilar dan empat bangunan berbentuk candi kecil. Api tersebut bersumber dari gas bumi yang tersulut api sehingga terus menyala. Memang, perut bumi di kawasan tersebut mengandung gas dan minyak bumi yang cukup banyak.
Kedung Peti saat kemarau |
Petualangan
tak berhenti sampai di situ. Hutan Bojonegoro ternyata menyimpan beberapa air
terjun yang masih perawan. Suatu hari, aku menemukan Air Terjun Kedung Peti di
Kecamatan Malo. Tak banyak yang tahu keberadaan air terjun ini. Berada di
tengah hutan jati, di bawah tebing curam, Kedung Peti memberi sensasi
tersendiri. Tingginya sekitar
10 meter dengan tiga tingkatan. Tanaman perdu menghiasi beberapa bagian
tingkatan itu. Di dasar air terjun, terdapat sebuah kolam kecil nan jernih.
Watu Gajah punya legenda |
Sayang, bentuknya tak utuh lagi |
Bahkan, setelah mutasi tugas ke SMAN 1 Bojonegoro pada 2015, aku
masih mencari tahu apa saja yang bisa dinikmati di balik hutan jati Bojonegoro.
Ditemani rekan guru SMAN 1 Gondang, aku datangi Watu Gajah, Gunung Pandan, dan
Watu Gandul. Watu Gajah berada di Desa Jari, Kecamatan Gondang, tepatnya di
bagian selatan desa, terpisah dari pemukiman penduduk. Watu Gajah dahulu
benar-benar berbentuk gajah. Waktu telah membuatnya keropos hingga kini
bentuknya tak utuh lagi. Rupanya, Jari adalah akronim dari gajah keri (gajah tertinggal). Konon, pada zaman dahulu, terdapat
sekawanan gajah yang melintas di gunung tersebut. Seekor gajah tertinggal
lantaran kakinya terjerembab lubang. Gajah ini pun mati dan membatu.
Watu Gandul yang mulai dikenal |
Bebatuan muntahan gunung berapi |
Sedangkan Watu Gandul berlokasi di Dusun Kaliasin, Desa Sambongrejo, Kecamatan Gondang. Tak sulit menemukan objek ini. Jika tersesat, silakan saja bertanya kepada warga setempat. Mereka pasti dengan senang hati menunjukkan arah. Watu Gandul terpisah dari pemukiman penduduk, tepatnya berada di areal ladang jagung yang pada musim tertentu menjadi lahan pertanian padi atau bawang merah. Ternyata Watu Gandul adalah kumpulan batu berukuran raksasa yang diperkirakan muntahan letusan Gunung Pandan di Kecamatan Sekar. Bebatuan itu tersusun dalam tumpukan tak beraturan. Lantaran sudah ratusan tahun berada di sana, bebatuan ini pun terlilit akar pohon yang tumbuh rindang di sekitarnya. Tinggi tumpukan batu super besar ini mencapai 50 meter.
Megahnya Gunung Lawang |
Panorama Gunung Kembar |
Desa Pragelan, Kecamatan Gondang, pun punya objek menarik, yaitu Gunung Lawang dan Gunung Kendil. Kabarnya, karena berdiri bersebelahan dan menyisakan ruang di antaranya, dua gunung ini seperti dua gapura yang mengapit sebuah jalan masuk. Lantaran itulah, meski kembar dan masing-masing punya nama, penduduk setempat lebih sering menyebutnya Gunung Lawang. Dalam bahasa Jawa, lawang berarti pintu atau jalan masuk.
Matahari senja di pucuk reranting |
Dedaunan pohon jati membingkai sang surya |
Sunset di hutan jati juga menarik lho. Suatu
sore saya juga mencoba berburu sunset ke Taman Tirtawana di kawasan Kecamatan Dander. Lokasi yang terdiri atas kolam
renang, lapangan golf (sayang tak terpakai), dan hutan kecil ini pun memiliki
beberapa areal terbuka untuk membidik matahari tenggelam. Matahari bulat tampak
dramatis saat berpadu dengan reranting pepohonan. Jujur saja, ada kepuasan
tersendiri saat matahari sebagai objek utama foto saya tampak bulat sempurna.
Negeri Atas Angin jadi primadona |
Ikon berikutnya yang tak kalah menawan adalah Negeri Atas Angin, sebuah dataran tinggi di Kecamatan Sekar. Spot andalannya adalah Bukit
Cinta. Dari sebongkah batu tepat di ujung tebing, kita bisa melihat deretan
pegunungan di Kecamatan Gondang dan Sekar. Tampak pula Gunung Lawang dan Gunung
Kendil di antara Lembah dan hutan. Angin sepoi menerpa saat berdiri di puncak
bukit berketinggian 650 di atas permukaan laut ini. Sekitar 500 meter dari
Bukit Cinta, terdapat Gua Watu Telo.
Rusa jantan di Perhutani Malo |
Diharapkan berkembang biak lalu dilepasliarkan |
Siapa sangka ternyata di hutan jati Bojonegoro juga ada
sebuah penangkaran rusa. Tepatnya di kawasan Perhutani Malo. Rusa-rusa ini
didatangkan dari Wana Wisata Maliran, Kabupaten Blitar, pada Juni 2014. Saat
itu, terdapat 13 ekor rusa jantan dan betina. Kini, rusa-rusa itu telah
berkembang biak dan jumlahnya bertambah menjadi 25. Kelak jika populasinya
meningkat terus di penangkaran ini, sebagian rusa akan dilepasliarkan di hutan
jati Bojonegoro.
Penghujung hari di hutan jati |
Kini aku baru menyadari semua. Sengsara yang aku rasa ketika
berkenalan dengan hutan jati justru berbuah cinta. Iya, cinta akan panorama
alam yang tak pernah habis menghadirkan rasa kagum. Tak terasa sudah cukup lama
aku menjadi bagian dari kota ini. Namun, ada saja potensi alamnya yang baru aku
sadari keindahannya. Semoga hutan jati tetap lestari hingga tetap mampu memeluk
pesona alam di dalam rimbunnya. (*)
Tulisan ini merupakan bagian dari acara post bareng (Posbar) Travel Bloggers Indonesia (TBI) buat merayakan
Hari Hutan Sedunia, 21 Maret 2017. Baca juga tulisan keren kakak-kakak kece member TBI ini ya.
1. Titiw Akmar: Hutan Itu Berharga. Hutan Itu Indonesia
2. Atrasina
Adlina: Bumi Semakin Kerontang, Hutan Semakin Ditebang
3. Albert Ghana
Pratama: Suatu Pagi di Hutan Desa Benowo Purworejo
4. Firsta Yunida: International Day of Forests: Stories About The Forest
5. Karnadi Lim: Hutan Riwayatmu Kini
6. Rey Maulana: Hutan Ku Dulu, Hutan Ku Kini
7. Yofangga: Pledoi si Penebang Hutan
8. Mas Edy Masrur: Hutan
Jati, Sengsara Berbuah Cinta
9. Indri Juwono: Gemerisik Hutan Pinus Bandung
10. Olive Bendon: Keluh Kesah Pepohonan
11. Liza Fathia: Hutan Wakaf, Sebuah Inisiatif untuk Menghijaukan Hutan Aceh
12. Parahita Satiti: Cerita Hutan dari 3 Perempuan
13. Tracy Chong: World Forestry Day 2017: Why I Love Forest and You Should Too!
14. Shabrina Koeswologito: Sustainable Travel: A Path Toward Sustainable Forestry
24 comments
Kita senasib mas edy. Akupun sekarang menjadi abdi negara di daerah yang sebenarnya aki tak mau. Tapi keindahan alamnya membuat aku jatuh cinta
ReplyDeleteJatuh cinta sama alamnya membuat kita juga mencintai pekerjaan ya, Kak. Salam abdi negara :)
DeleteWaaah keren banget ternyata sebanyak itu ya kenindahan kota bojonegoro
ReplyDeleteApalagi mas edy kalau ambil fotonya keren keren begitu, meskipun sederhana tapi gambarnya jadi terkesan mewah.
Emang kalau lagi di desa desa begini rasanya adem, saya yang di kota aja malah kangen suasana daerah kadang kadang :D
Wah, makasih, Mbak Laili.
DeleteBetul, kalo sdh lama tinggal di kota, jadi kangen suasana desa.
Sama sama :D
DeleteLihat foto-foto di postingan ini, aku jadi pengen main ke Bojonegoro.
ReplyDeleteBtw, salut dengan perjuangan Pak Guru mengabdi jadi pengajar, tahun ini sudah genap 12 tahun mengajar ya, Pak?
Mariiii, main ke Bojonegoro, Kak.
DeleteIya nih sudah 12 tahun, Kak. Masih banyak yg perjuangannya lebih hebat dari saya kok. Hehehe.
Kedung petinya...beda sekali ya kak antara di musim kemarau sama ganya. :D memang segala sesuatu itu bisa diambil hikmahnya. Salut buat Pak Guru! :)
ReplyDeleteKedung Peti beda banget kalo beda musim Kak.
DeleteSetuju, semua punya hikmah, setelah semua terjadi ya Kak.
Aahh, masih banyak yg lebih berdedikasi kok, Mas.
ReplyDeleteFoto pakai batik di air terjun itu karena ga sempat pulang. Dari sekolah, langsung bolang, Kak. Hehehe.
Kamu pake kamera apa sih mas edy.
ReplyDeleteSemoga hutan kita di indonesia bebas dari kebakaran ya soalnya kayak waktu itu di Palembang asap kebakaran benar-benar gak enak.
deddyhuang.com
Aku pakai dua Kak, Nikon P520 sama Samsung NX3000, Ko.
DeleteAmiiiin, semoga hutan seluruh Indonesia lestari.
Jadi inget bapak, dulu awal jd guru PNS juga ditempatkan di pelosok, yg jaraknya hampir 50km dr rumah :)
ReplyDeleteBtw bojonegoro semakin menggoda saya nih mas, kapan2 temenin ya kalo kesana :D
Wah, hampir sama kaya saya ya Mas. Hehe.
DeleteMonggo main ke Bojonegoro :)
Salut sama perjuangannya buat ngajar di SMA Negeri 1 Gondang, meski jaraknya itu 45 km dari Kota Bojonegoro :) btw, Bojonegoro ini kayaknya sangat explorable. banyak tempat cakep yang bisa dilihat gitu :D
ReplyDeleteAlhamdulillah, makasiih, Kak Fahmi. Sebenernya lebih banyak yang perjuangannya lebih dari saya, terutama guru SD yang harus masuk hutan tanpa kendaraan umum.
DeleteSejauh ini, memang ada saja Kak tempat yang bagus buat dikunjungi. Barusan juga dapat info gua dan air terjun lagi dari temen, hehe.
Perjalanan yang luar biasa mas ... Pengabdian tanpa batas ... Skenario Allah itu memang luar biasa ya mas... Semoga dengan membaca perjalanan pengalamannya mas edy semakin memantapkan saya akan terus mengabdi ... Semoga nanti bisa menemukan apa yang mas temukan juga hee . mohon bimbingannya mas... Terus berkarya
ReplyDeleteAmin ya rabbal alamin. Terima kasih, Mas Dimas. Doa yang sama untuk Mas.
DeleteSemangat terus untuk berkarya!
Aku penasaran sama api begituan karna tak pernah lihat di daerahku. btw klo kontur pemandanganya seolah tak asing bagiku walau blum pernah kesana. Salam kenal ya mas, saya travel blogger yang sedang belajar dari aceh. bolehlah bertamu skali kali ke www.matakaki.com
ReplyDeleteIya, Mas Hadhara, api abadi ini memang fenomena langka. Beruntung saya, itu ada di tempat saya tinggal.
DeleteSalam kenal, Mas. Saya segera berkunjung ke blog Mas.
wah mas aku penasaran sama Api abadinya, dulu pernah main ke api abadi waktu SD di daerah purwodadi jateng. Kukira Api abadi itu cuma ada di satu lokasi saja. Kalau baca2 blogmu ini mas berasa keliling Bojonegoro
ReplyDeleteTernyata banyak juga ya tempat wisatanya
Ternyata api abadi ini ada di beberapa daerah ya, Mas. Di Madura juga ada. Senangnya Mas notice soal keliling Bojonegoro, memang itu tujuan tulisan saya, hehe.
DeleteKisah yang menarik berkolaborasi dengan tulisan apik dan foto yang ciamik.terima kasih sudah turut serta mencerdaskan bangsa,semoga pak guru selalu terberkahi
ReplyDeleteAmiiiiin ya Rabbal alamin. Terima kasih banyak.
Delete