NEGERI ATAS ANGIN, PESONA ALAM BOJONEGORO
15:46:00
Tak pernah
terbayang akan travelling bersama member Travel Bloggers Indonesia (TBI).
Sejak bergabung dengan komunitas kece ini Juni 2015, saya tak pernah bisa hadir
dalam kegiatan TBI lantaran beberapa kesibukan. Kabar gembira datang dari Koko
Hartadi Putro, rekan seangkatan yang diterima sebagai member TBI. Traveller
yang kerap dipanggil Koko atau Sinyo ini mengajak saya, Kak Leonard Anthony, Kak
Tracy Chong, dan Kak Imama Lavi Insani untuk mendatangi undangan Dewarna Hotel
sekaligus meng-explore alam
Bojonegoro.
Tentu saja ini kesempatan langka. Saya tak perlu ke
mana-mana karena merekalah yang berkunjung ke Bojonegoro, kota kecil tempat saya
tinggal. Saya merasa wajib mengosongkan jadwal agar hari itu bisa leluasa menyambut
mereka. Karena kebetulan jadi tuan rumah, saya diminta menyusun itinerary. Jujur saja, saya sempat
kurang percaya diri memamerkan potensi alam Bojonegoro. Bayangkan, mereka kan para
traveller yang sudah menjelajahi
nusantara, bahkan negeri tetangga.
Tiga objek akhirnya saya pilih di antara beberapa ikon
wisata Bojonegoro, yaitu Negeri Atas Angin, Kayangan Api, dan Air Terjun Kedung
Peti. Menurut saya, tiga objek inilah yang paling menarik untuk dikunjungi.
Harapan saya, waktu sehari cukup untuk menjangkau semuanya. Harapan lainnya,
mereka tak kecewa begitu melihatnya dengan mata kepala sendiri. Untunglah,
mereka meyakinkan saya, pengalaman menginjakkan kaki di sebuah kota yang baru
dikunjungi selalu menarik bagi mereka.
Minggu, 12 Februari, pukul 09.30. Mobil Dewarna telah
siap di depan hotel. Mas Ambon, sang driver,
meyakinkan kami bahwa dia tahu persis jalur menuju tiga destinasi kami. Namun,
rute menuju objek pertama, Negeri Atas Angin, pilihan Mas Ambon berbeda dengan
jalur yang saya tahu. Umumnya jalur yang dipilih pengunjung dari Kota
Bojonegoro adalah Dander-Bubulan-Sekar. Namun, dengan pertimbangan efisiensi
dan kondisi jalan, dia membawa kami melewati Kalitidu-Ngasem-Sekar.
Estimasi Mas Ambon, kami membutuhkan waktu tempuh 1,5-2
jam untuk sampai di Negeri Atas Angin. Doa yang kami panjatkan saat itu adalah
semoga perjalanan lancar dan langit cerah bersahabat. Sebenarnya, meski sudah
lama mendengar pesona Negeri Atas Angin, saya sendiri belum pernah ke
sana. Sering ada rencana, tapi selalu batal. Jadi, perjalanan ini pun menjadi
pengalaman pertama untuk saya.
Ikon pariwisata Bojonegoro |
Jalan yang kami lalui tak selalu mulus. Di beberapa
titik, jalan aspal berlubang. Namun, secara umum, saya bisa mengatakan jalan
tersebut masih layak dilewati. Sedikit demi sedikit saya mulai bangga ketika
mobil melewati jalan berbukit di kawasan Ngasem menuju Sekar. Tanjakan membawa
mobil ke dataran tinggi. Tampaklah hamparan hutan jati dengan latar belakang
perbukitan nan hijau. Sawah di sepanjang perjalanan pun menarik layaknya
terasering di Bali.
Estimasi Mas Ambon rupanya jitu. Tak sampai dua jam,
mobil kami telah memasuki lahan parkir Negeri Atas Angin. Wah, sudah banyak
motor dan mobil terparkir di sana. Kami pun bergegas turun dan berfoto di depan
tulisan besar Negeri Atas Angin Bojonegoro. Alhamdulillah, cuaca sangat cerah.
Sinar matahari membuat kami lega. Namun, kami tak mau terlalu lama membuang
waktu. Dengan tiket masuk seharga Rp 5 ribu, kami sepakat masuk ke area wisata
yang berlokasi di Desa Deling, Kecamatan Sekar, ini.
Ada beberapa gazebo di tanjakan menuju Bukit Cinta |
Di tanjakan pertama, kami disambut sekelompok ayam
kalkun. Namun, saya lebih tergoda untuk memotret panorama di sekeliling bukit.
Tanpa sadar, langit berubah mendung dan rintik gerimis pun turun. Ya Tuhan,
betapa tak bisa diprediksi lagi cuaca saat ini. Tanpa dikomando, kami pun
mempercepat langkah. Ko Har dan Kak Imama malah sudah jauh di depan saya. Saya
yang saat itu tak membawa tas merasa perlu mencari alat pelindung gadget dan kamera. Untunglah, ada bapak penjual makanan ringan yang
memperbolehkan beberapa lembar kantong plastiknya saya beli.
Langkah kaki setengah berlari ketika kami sampai di
tanjakan menuju puncak Bukit Cinta. Untunglah di atas bukit ini terdapat beberapa
tempat duduk dengan atap ijuk. Kami pun duduk dan berteduh di sana lantaran
gerimis telah berubah menjadi hujan. Hujan saat travelling menjadi topik pembicaraan waktu itu. Ko Har membuka
obrolan dengan menceritakan pengalamannya terkena hujan badai di Maratua. Bahkan
dia juga pernah tercebur ke laut di Pontianak. Kak Leo pun merasakan hujan saat
mendaki Gunung Ijen Banyuwangi.
“Intinya, hujan selama travelling itu dibikin enjoy aja ya,” ujar Kak Tracy.
Kak Leonard Anthony (www.cool4myeyes.com) |
Kak Imama Lavi Insani (www.imalavins.com) |
Tiba-tiba, seorang kakek yang kebetulan berdiri di
dekat kami menyapa ramah. Kami pun berbincang tentang asal-usul Negeri Atas
Angin. Sungguh beruntung kami bisa mendapatkan informasi dari si kakek yang
sayang sekali saya lupa bertanya namanya itu. Menurut beliau, bukit ini dinamai
Bukit Cinta karena menjadi saksi bisu kisah asmara sepasang kekasih, Raden Atas
Aji dan Dewi Sekarsih, pada masa Kerajaan Mataram. Nama Raden Atas Aji
diabadikan menjadi nama Negeri Atas Angin, sedangkan nama Dewi Sekarsih
diabadikan menjadi nama Desa Sekar.
Sang kakek menambahkan, Raden Atas Aji kala itu adalah
pria sakti yang telah lama bertapa di
bukit ini. Dia menyelamatkan Dewi Sekarsih yang tersesat di hutan. Sekitar 500
meter dari Bukit Cinta, terdapat Gua Watu Telo tempat dua sejoli ini
berlindung. Dia menawarkan diri siap mengantar jika kami ingin melihat gua itu.
Namun, kami lebih dulu ingin menikmati panorama dari puncak Bukit Cinta.
Kak Tracy Chong (www.peekholidays.com) |
Ko Hartadi Putro (www.kopertraveler.id) |
Sekitar 10 menit kemudian, hujan reda. Kami pun pamit
kepada sang kakek untuk melihat-lihat sisi lain Bukit Cinta. Kami tertarik
berfoto di sebongkah batu tepat di ujung tebing. Deretan pegunungan di
Kecamatan Gondang dan Sekar tampak di kejauhan. Tampak pula Gunung Kembar yang
menyerupai pintu gerbang, namanya Gunung Lawang dan Gunung Kendil. Lembah dan
hutan terlihat sejauh mata memandang. Angin sepoi menerpa saat saya berdiri di
puncak bukit berketinggian 650 di atas permukaan laut ini. Kami pun bergantian
mengabadikan diri di ujung bukit ini.
“Foto di situ
udah berasa kaya jadi superhero,”
ujar Kak Tracy disambut gelak tawa yang lain.
“Langitnya memang ga cerah ya, tapi tetep suka lihat
pemandangan ini, benar-benar di luar ekspektasi,” Kak Imama takjub.
View Gunung Kembar |
Tak terasa sudah lebih dari 15 menit kami bergantian
berpose. Tumpukan batu yang ditata unik seperti menara kecil pun tak lepas dari
jepretan kamera kami.
“Sudah, sudah. Sudah cukup kita foto di sini. Lihat
tuh, banyak yang antre pengen foto juga di sini,” ujar Kak Leo ketika rombongan
pengunjung lain berdatangan.
“Bener juga ya. Kita sering nunggu orang menyingkir
dari objek yang menarik. Masak giliran kita yang di situ malah kita yang lupa
waktu,” timpal saya.
“Siap! Ayo kita ke gua kata si kakek tadi,” ajak Ko
Har.
Kami mengangguk setuju.
Semua mengaku kagum akan keindahan Negeri Atas Angin |
Kata si kakek yang kami yakini si juru kunci itu, kami
cukup berjalan kaki 500 meter masuk ke ladang jagung. Sayang, sang kakek tak tampak
lagi karena dia lebih dulu mengantar satu rombongan keluarga menuju gua. Kami
berjalan mengandalkan petunjuk seorang ibu penjual minuman, ikuti saja jalan
setapak yang membelah di ladang. Namun, rasanya sudah lebih dari 500 meter kami
berjalan, belum ada tanda-tanda keberadaan gua.
“Beginilah bedanya 500 meter versi penduduk desa
dengan kita yang tinggal di kota. Kayanya ini sudah 1 kilometer deh,” seloroh
Ko Har.
Baru sekitar dua tahun ini resmi menjadi objek wisata. |
Kami pun tertawa. Padahal, gerimis mulai turun dan
membasahi baju kami. Ingat tadi beli tas plastik, saya pun membungkus kamera
dan handphone. Tak lupa saya bagikan
plastik untuk yang lain. Seperti yang dikhawatirkan, ternyata hujan semakin
deras. Kami sepakat berhenti di bawah dua pohon. Kami berbagi tempat. Ko Har,
Ko Leo, dan Kak Imama di pohon sisi kanan, sedangkan saya dan Kak Tracy di
pohon sisi kiri.
Sebenarnya, pohon ini tidak benar-benar melindungi
kami dari air hujan. Badan kami tetap basah kuyup. Namun, yang ada di pikiran
kami adalah menyelamatkan kamera dan handphone
di balik kaos kami masing-masing. Sambil mendekap gadget, kami setengah menunduk agar barang-barang berharga itu aman
dan terlindung. Beberapa menit kami sempat terdiam. Namun, tak lama kemudian kami
larut dalam obrolan dan cerita seru. Tak ada keluhan. Tak ada wajah masam.
Ketika hujan reda, kami kompak memilih kembali. Bukan
putus asa. Kami hanya tak ingin hujan deras turun lagi dan memakan waktu lebih
banyak. Kami ingat masih harus mendatangi Kayangan Api dan Air Terjun Kedung
Peti. Tetapi, dalam hati, saya bertekad kembali lagi di lain hari. Gua Watu
Telo sepertinya menarik untuk didatangi. Saat kami berjalan kembali, beberapa
meter di belakang kami juga ada dua pengunjung lain yang batal melihat gua
lantaran terguyur hujan.
Tumpukan batu yang unik |
Nah, jalan setapak yang kami lalui ini ternyata punya
“penghuni”. Mau tahu apa? Cacing tanah raksasa! Setelah turun hujan, mereka
tampak berpesta. Hampir di setap jengkal, terlihat cacing tanah berukuran
sangat besar (panjangnya sekitar 20 cm) di permukaan jalan. Ini mungkin bukan
hal yang menyeramkan bagi orang pada umumnya. Namun, lain cerita untuk Kak
Imama yang phobia melihat cacing. Dia yang terlanjur melepas sepatu sering
melompat heboh sambil berteriak jijik setiap melewati cacing.
“Makin takut, makin jeli lihat ada cacing,” keluh Kak
Imama.
“Cacing ga gigit kok, Kak,” hibur saya supaya dia
tenang.
“Tetap aja geli lihatnya,” sanggahnya.
Objek penuh pesona nan kaya legenda |
Kami pun tertawa melihat Kak Imama sibuk loncat
mengindari cacing, padahal jalan setapak ini becek dan berlumpur. Untungnya, di
sekitar tempat parkir, terdapat kamar mandi untuk kami membersihkan tangan dan
kaki. Deretan warung pun menjadi tempat yang pas untuk mengisi perut siang itu.
Pengalaman seru ini benar-benar berkesan untuk saya. Saya pun makin yakin,
kesan itu bukan hanya soal tempat, tetapi juga bersama siapa kita menghabiskan
waktu di sana. (*)
17 comments
Pengalaman seru ujan2an dan panen cacing nih
ReplyDeleteUntung ga pada masuk angin ya. Strong semua ternyata.
DeleteHahaha..haduh..ingat cacing jd ingat Kak Imama. xD ngomong2, ntah grup yang diantar kakek itu sampai tujuan ga ya? Masih penasaran ama goanya. :D
ReplyDeleteKayanya sih nyampe Kak. Mungkin waktu hujan deres itu mereka sudah di gua. Saya juga penasaran gua itu, Kak. Kalo ada waktu, masih mau ke sana lagi. Hehehe.
DeleteIni Baru Mantap pk pemandangan Bojonegoro Yg asri Oya Follower Bali ya pk hehehehe.. Str Tutor
ReplyDeleteSiaaap, Mbak.
Deletecacingnya emang serem bangettt guede-gede hahaha
ReplyDeleteTapi kan ga gigit, Kak. Hehehe
DeleteMendung pun tetep oke. Bojonegoro matoh!
ReplyDeleteBangga dong sebagai warga Bojonegoro
DeleteSudah lama tinggal di Bojonegoro, tapi saya belum ada kesemoatan ke sana... Kasihan banget ya saya ini hehehe
ReplyDeleteNegeri Atas Angin menunggu Bu Nurul, hehehe. Datanglah, Bu.
DeletePilihan 3 destinasi recomended.... gak kalah ma daerah2 lain.
ReplyDeleteKox gak ke kebun belimbing sekalian brader
Kami cuma punya waktu sehari, Mas. Waktu itu saja pulangnya sudah petang.
DeleteBtw, kebun belimbing memang menarik. Kapan-kapan saya tulis juga.
Harga tiket masuknhm berapa min?
ReplyDeleteRp 5 ribu, Mas
Deletewah bojonegoro wisatanya sanggat keren banget deh.....
ReplyDeletehttps://www.liannasuzukimobil.com/
https://www.promo-mitsubishiterbaru.com/