GUNUNG KEMBAR ITU BERNAMA LAWANG DAN KENDIL
20:10:00
Sore pulang kerja, salah satu rutinitas saya adalah
membiarkan mata menjaring deretan notifikasi Instagram. Selain likes, komentar, dan followers baru (atau yang menghilang), tak
jarang mention atau tag dari akun lain cukup menyedot
perhatian. Jempol tangan kanan seolah dituntun untuk mengecek sebuah post tanpa menunggu lama. Begitu juga
yang terjadi sore itu. Nurdiansyah, murid saya yang kini telah resmi berseragam
polisi dan bertugas di Polda Jatim, menyebut akun Instagram saya dalam caption fotonya. Dia juga menandai saya
dalam post itu.
Sebuah foto pemandangan alam yang Instagrammable. Bukit berhias ilalang, berlatar belakang sawah dan pegunungan
nan luas menghijau. Namun, yang lebih membuat tertarik adalah view indah itu berada di kota tempat
saya tinggal. Tag satu foto itu
berlanjut dengan foto-foto lainnya yang dikirim Nurdiansyah melalui BBM.
Semakin tertariklah saya untuk melihat dengan mata kepala sendiri bukit yang berlokasi
di Desa Pragelan, Kecamatan Gondang, Bojonegoro, ini. Apalagi, Nurdiansyah
mengingatkan saya bahwa pemandangan mungkin akan berubah jika musim berganti. Saat
itu awal musim hujan, masa para petani mulai menanam padi.
Bukit berhias ilalang, berlatar sawah dan bukit hijau (Photo by Nurdiansyah) |
View yang instagrammable (Photo by Nurdiansyah) |
Sayangnya, kesibukan tak memberi saya waktu yang cukup untuk
meluangkan waktu. Sempat menguap, tetapi akhirnya hasrat berkunjung ke bukit
itu kembali lagi. Kesempatan datang beberapa bulan kemudian saat saya bertemu
Mas Reza dan Mas Johan, kawan lama semasa saya bertugas di SMAN 1 Gondang.
Selain Watu Gajah di Desa Jari dan Watu Gandul di Desa Senganten, kami juga
mantap mengarahkan tujuan ke Desa Pragelan. Apalagi, selain bukit yang difoto
Nurdiansyah, di Desa Pragelan juga terdapat gunung kembar.
Desa Pragelan berada di kawasan tepi paling barat Kecamatan
Gondang. Saya tak menyebutnya terpencil, hanya agak jauh dari desa sebelumnya.
Jalan menuju ke sana telah beraspal, menembus hutan jati, sawah, dan perkebunan.
Sebelum sampai di Desa Pragelan, gunung kembar itu telah terlihat.
Masing-masing gunung punya nama, yaitu Gunung Lawang dan Gunung Kendil. Gunung
Lawang berada di sisi utara, sedangkan Gunung Kendil berada di sisi selatan.
Tebing Gunung Lawang nan curam |
Ketika saya memotret Gunung Lawang dari tepi jalan ini, Mas
Reza bercerita bahwa baru saja ada warga yang jatuh dari tebing gunung. Pria
malang itu terpeleset saat berusaha mengumpulkan madu lebah dari ranting
pepohonan di dinding tebing. Memang, Kecamatan Gondang dikenal akan potensi
madu lebah hutan. Namun, saya tak mengira, ternyata ada pemburu madu yang mempertaruhkan
nyawa untuk mendapatkan sarang lebah di tebing seterjal ini. “Saya pernah naik
ke gunung ini, Pak. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di puncak, dengan
beberapa kali istirahat. Dari puncak, pemandangannya indah lho,” ujar Mas Reza.
Namun, saya sedang tak tertarik naik gunung. Dan, karena dari
jalan ini Gunung Lawang menutupi Gunung Kendil, saya dan Mas Reza harus melanjutkan
perjalanan supaya bisa melihat dua gunung itu secara utuh berdiri berdampingan.
Kabarnya, karena berdiri bersebelahan dan menyisakan ruang di antaranya, dua
gunung ini seperti dua gapura yang mengapit sebuah jalan masuk. Lantaran
itulah, meski kembar dan masing-masing punya nama, penduduk setempat lebih
sering menyebutnya Gunung Lawang. Dalam bahasa Jawa, lawang berarti pintu atau jalan masuk.
Sebagian sawah telah habis masa panen. |
Gunung kembar dari kejauhan. |
Jalan terjal menuju puncak bukit. |
Kami pun masuk Desa Pragelan. Saat itulah, saya ingat betul foto
Nurdiansyah. Meski dia pernah memberi tahu saya rute menuju bukit itu, tetap
saja saya perlu bertanya kepada warga di sana. Kami harus memarkir kendaraan di
balai desa lalu berjalan kaki menuju persawahan, kemudian naik bukit. Sayang,
pemandangan telah berubah. Apa yang kami lihat, tak lagi sama dengan bayangan
saya. Namun, saya sudah siap untuk itu. Foto Nurdiansyah diambil beberapa bulan
sebelumnya saat musim hujan. Sedangkan saya datang saat musim kemarau.
Sawah-sawah itu telah mengering karena padi telah dipanen.
Gunung kembar yang menyerupai gapura |
Ada perasaan hening sekejap. |
Perbukitan nan eksotis. |
Selanjutnya, kami mengarahkan kendaraan ke sebelah barat
desa. Jalanan menanjak membawa kami ke bukit lainnya. Jalanan tak lagi rata.
Bebatuan terjal menyebabkan jalan bergelombang. Sesekali kami berpapasan dengan
warga yang pulang dari sawah, membawa hasil panen bawang merah. Dari puncak
bukit inilah, tampak dengan jelas Gunung Lawang dan Gunung Kendil berdiri
berdampingan. Meski tak tinggi, kedua gunung ini tampak menonjol karena lebih
tinggi daripada gugusan perbukitan yang memanjang.
Panorama Desa Pragelan. |
Berdiri di tempat ini seolah dikelilingi perbukitan. Angin kemarau
meniupkan suasana asing yang seolah menyelimuti diri sendiri. Suasana ini pun menghadirkan
sebuah perasaan bernama sepi. Entah mengapa. Yang jelas, ada sebagian ruang dalam relung hati yang hening sejenak. Mungkin
ini yang disebut waktu yang tepat untuk berkontemplasi. Terima kasih, Pragelan,
kau menyadarkan hati akan rasa syukur dalam diri. (*)
8 comments
Bagusnya gunung lawang,benar-benar ada rasa hening sekejap :D
ReplyDeleteWaaah, Kak Imama merasakan hal yang sama ya. Hehehe.
DeleteMantapp pak. Ternyata pak edi kesana setelah ada kejadian warga tergelincir ya.
ReplyDeleteIyaa, Nur.
DeleteTerima kasih ya atas foto-foto dan "undangannya" ke Pragelan, hehe
Gk ad sinyal disitu.. hhhaa
ReplyDeleteMakanya, kalau sudah sukses, buruan balik kampung. Bangun desa jadi lebih baik. Hehehe
Deleteheningnya ditemani angin yang berhe,bus :D
ReplyDeletetambah syahdu mas hehe
Hahaha, begitulah, Mas.
DeleteUntung ga sampai ngantuk.